Jumat, Desember 18, 2009

Makna 1 Suro Bagi Masyarakat Jawa

mbah gendeng, mbah gendeng, mbah gendeng, mbah gendeng, mbah gendengMasih tetap dalam rangka menyemarakkan Djarum BLCK Blog Competition, kali ini Kang Sugeng akan membagikan sedikit pengetahuan tentang Kasusastran Jawi yg memang makin lama makin memudar seiring dengan perkembangan jaman. Tentu saja akan lebih nikmat kalau dalam membaca BLCK In News kali ini, disediakan secangkir kopi dan sebungkus Djarum BLCK Slimz (bagi yg merokok), sebagai pelengkapnya.

Biasanya, menjelang tahun baru seperti ini, kita pasti melakukan berbagai macam kegiatan untuk menyambutnya. Dan kegiatan tersebut tentunya ndak lepas juga dari upaya introspeksi diri dan harapan-harapan. Introspeksi diri itu dilakukan tentunya berkaitan dengan perbuatan-perbuatan di tahun lalu, apakah perbuatannya itu sudah bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat atau justru malah merugikan orang lain? Jika masih banyak merugikan orang lain, tentunya harus diperbaiki dong di tahun baru ini. Bukan malah merayakannya dengan tujuan hanya ingin bersenang-senang saja. Memang sih untuk memahami makna tahun baru, pada akhirnya harus dikembalikan juga ke diri kita masing-masing sebagai pencipta budaya itu sendiri.

Begitu juga ketika menjelang Tahun Baru Jawa (Suro), masyarakat Jawapun punya harapan-harapan yg lebih baik di tahun baru yg akan datang dan tentunya juga melakukan introspeksi terhadap tindakan-tindakannya di masa silam. Kegiatan-kegiatan yg berkaitan, baik menjelang maupun selama bulan Suro ini jelas tidak terlepas juga dari introspeksi dan harapan-harapan itu. Namun dalam perkembangannya sering mengalami pergeseran persepsi.

Bagi masyarakat Jawa, kegiatan menyambut bulan Suro ini sudah berlangsung sejak berabad-abad yg lalu. Dan kegiatan yg berulang-ulang tersebut akhirnya menjadi kebiasaan serta menjadi tradisi yg pasti dilakukan di setiap tahunnya. Itulah yg kemudian disebut budaya dan menjadi ciri khas bagi komunitasnya. Namun kalau dicermati, tradisi di bulan Suro yg dilakukan oleh masyarakat Jawa ini adalah sebagai upaya untuk menemukan jati dirinya agar selalu tetap eling lan waspodo.
Eling
artinya harus tetap ingat siapa dirinya dan dari mana sangkan paraning dumadi (asal mulanya), menyadari kedudukannya sebagai makhluk Tuhan dan tugasnya sebagai khalifah manusia di bumi, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Waspodo, artinya harus tetap cermat, terjaga, dan awas terhadap segala godaan yg sifatnya menyesatkan. Karena sebenarnya godaan itu bisa menjauhkan diri dari Sang Pencipta, sehingga dapat menyulitkan kita dalam mencapai manunggaling kawula gusti (bersatunya makhluk dan Sang Khalik).

Bulan Suro sebagai awal tahun Jawa, bagi masyarakatnya juga disebut bulan yg sangat sakral karena dianggap bulan yg suci atau bulan untuk melakukan perenungan, bertafakur, berintrospeksi, serta mendekatkan diri kepada Sang Khalik.
Cara yg dilakukan biasanya disebut dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu dengan hati yg ikhlas untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah esensi dari kegiatan budaya yg dilakukan masyarakat Jawa pada bulan Suro. Tentunya makna ini juga didapatkan ketika bulan Poso (Ramadhan, Tahun Hijriyah), khususnya yg memeluk agama Islam.
Lelaku yg dilaksanakan oleh masyarakat Jawa sebagai media introspeksi biasanya banyak sekali caranya. Ada yg melakukan lelaku dengan cara nenepi (meditasi untuk merenungi diri) di tempat-tempat sakral seperti di puncak gunung, tepi laut, makam para wali, gua dan sebagainya. Ada juga yg melakukannya dengan cara lek-lekan (berjaga semalam suntuk tanpa tidur hingga pagi hari) di tempat-tempat umum seperti di alun-alun, pinggir pantai, dan sebagainya.

Sebagian masyarakat Jawa lainnya juga melakukan cara sendiri yaitu mengelilingi benteng kraton sambil membisu.
Begitu pula untuk menghormati bulan yg sakral ini, sebagian masyarakat Jawa melakukan tradisi syukuran kepada Tuhan pemberi rejeki, yaitu dengan cara melakukan labuhan dan sedekahan di pantai, labuhan di puncak gunung, merti dusun atau suran, atau lainnya. Dan karena bulan Suro juga dianggap sebagai bulan yg baik untuk mensucikan diri, maka sebagian masyarakat lain, melakukan kegiatan pembersihan barang-barang berharga, seperti jamasan keris pusaka, jamasan kereta, pengurasan enceh di makam-makam, dan sebagainya. Ada juga yg melakukan kegiatan sebagai rasa syukur atas keberhasilan di masa lalu dengan cara pentas wayang kulit, ketoprak, nini thowok, dan kesenian tradisional lainnya. Apapun yg dilakukan boleh saja terjadi asal esensinya adalah dalam rangka perenungan diri sendiri (introspeksi) sebagai hamba Tuhan.

Namun akibat perkembangan zaman serta semakin heterogennya masyarakat suatu komunitas dan juga karena dampak dari berbagai kepentingan yg sangat kompleks, lambat laun banyak masyarakat terutama yg awam terhadap budaya tradisional, ndak lagi mengetahui dengan jelas di balik makna asal tradisi budaya bulan Suro ini. Mereka umumnya hanya ikut-ikutan, seperti beramai-ramai menuju pantai, mendaki gunung, bercanda ria sambil mengelilingi benteng, berbuat kurang sopan di tempat-tempat keramat dan sebagainya. Maka ndak heran jika mereka menganggap bahwa bulan Suro itu ndak ada bedanya dengan bulan-bulan yg lain.
Di sisi lain, ternyata kesakralan bulan Suro membuat masyarakat Jawa sendiri enggan untuk melakukan kegiatan yg bersifat sakral, misalnya hajatan pernikahan. Hajatan pernikahan di bulan Suro sangat mereka hindari. Entah kepercayaan ini muncul sejak kapan, saya juga ndak tahu. Namun yg jelas sampai sekarangpun mayoritas masyarakat Jawa ndak berani menikahkan anaknya di bulan Suro. Ada sebagian masyarakat Jawa yg percaya dengan cerita Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan yg konon ceritanya setiap bulan Suro, Nyi Roro Kidul selalu punya hajatan atau mungkin menikahkan anaknya (ndak ada yg tahu berapa jumlah anaknya) sehingga masyarakat Jawa yg punya gawe di bulan Suro ini diyakini penganten atau keluarganya ndak akan mengalami kebahagiaan atau selalu mengalami kesengsaraan, baik berupa tragedi cerai, gantung diri, meninggal, mengalami kecelakaan, atau lainnya. Entah kebenaran itu ada atau tidak, yg jelas masyarakat Jawa secara turun-temurun menghindari bulan Suro untuk menikahkan anak. Padahal bagi pemeluk agama Islam, dan mungkin juga pemeluk agama lain, bahwa semua hari dan bulan itu baik untuk melakukan kegiatan apapun termasuk menikahkan anak.

Aneh memang, itulah kepercayaan. Akankah masyarakat Jawa di masa mendatang punya cara lain lagi dalam memaknai bulan Suro ? Jawabannya ada pada anak cucu kita sebagai generasi penerus.

Sumber data : Seloka - Komunitas Seni Tradisi Indonesia, "SATU SURO TAHUN BARU JAWA" http://seloka.uni.cc/index.php?topic=234.0

Share/Save/Bookmark Subscribe



Related Posts :



57 komentar:

ellysuryani on 18 Desember 2009 pukul 07.03 mengatakan...

Tulisan mantap neh tentang 1 Syuro kang. Ya, banyak adat istiadat kita memiliki filosipi yang penuh makna. Selamat Tahun Baru 1 Muharram 1431 H. Semoga hari esok yang sukses dan barokah menjadi milik kita semua.

Ivan Rahmadiawan on 18 Desember 2009 pukul 08.35 mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Ivan Rahmadiawan on 18 Desember 2009 pukul 08.37 mengatakan...

Tulisan ini postingan terjadwal...

Anda sudah koment sesuai yang kuharapankan. Jadi anda bebas dari hukuman...

narti on 18 Desember 2009 pukul 09.02 mengatakan...

lengkap banget tulisannya, jadi makin tahu yang sering mereka lakukan dalam rangka instrospeksi diri. semoga tujuannya yang ini, bukan sekedar ikut-ikutan.

sda on 18 Desember 2009 pukul 09.03 mengatakan...

begitu awal mulanya orang jawa tidak menikahkah anaknya di bulan Sura ya?
terima kasih sudah berbagi.

Sohra Rusdi on 18 Desember 2009 pukul 09.04 mengatakan...

saya kalau malam Satu suro dulu malam takut kang habis dulu ada film seram malam satu suro

sda on 18 Desember 2009 pukul 09.04 mengatakan...

selamat tahun baru, semoga kedepannya akan lebih baik lagi.

Ninneta - MissPlum on 18 Desember 2009 pukul 09.50 mengatakan...

selamat tahun baru kang... aku taunya malem 1 suro dari film2 nya Susana sih, jadi agak ngeri tiap dibilang malam 1 suro... hehehehe

Yanuar Catur on 18 Desember 2009 pukul 10.30 mengatakan...

ternyata panjang juga yah kang cerita nya
aku aru tahu detail nih
hehehehe
yuk, liat ke gunung kawi, pasti rame tuh
hehehe

Slamet Riyadi on 18 Desember 2009 pukul 11.00 mengatakan...

malem satu suro, hehehe
biasanyasih pada mau ngumbah keris hehehe

aku mah mandi aja udah cukup
met liburan aya ya kang

Yolizz on 18 Desember 2009 pukul 11.42 mengatakan...

aku baru tau neh kang tentang kebiasaan masyarakat jawa saat menyambut satu suro,, nice post deh... ^^

jhoni on 18 Desember 2009 pukul 11.54 mengatakan...

nyi roro kidul penguasa laut selatan.......kang sugeng penguasa malam wkwkwkwkwkw!!!!!

eh saya punya pegawai kang orang jawa katanya sekarang ini harinya nyari wangsit katanya!!!!......tapi kalau dilihat dari kesakralannya kali aja bener nih dia!!!! saya gak terlalu tahu nih hehehehehe

marsudiyanto on 18 Desember 2009 pukul 11.57 mengatakan...

Di tempat saya juga masih ada tradisi, tapi cuman kumpul2, lek2an sambil makan bubur Suro...

Joddie on 18 Desember 2009 pukul 12.05 mengatakan...

yup.. saya sendiri juga tinggal di Solo... dan setiap malam 1 Suro saya selalu meluangkan waktu untuk melihat ritual-ritual unik ini.. seperti kirab pusaka dan kebo kyai slamet.. serta merekamnya dalam kamera.. ^^

ateh75 on 18 Desember 2009 pukul 12.22 mengatakan...

Satu suro sudah menjadi tradisi dijawa ya...
Selamat tahun baru hijriyah ,1 muharam 1431...

Rosi aja on 18 Desember 2009 pukul 12.29 mengatakan...

Di Ponorogo peringatan grebeg suro rame banget, di Madiun "ksatria" hitam merajalela turun di jalan tiap malaem suro

-Gek- on 18 Desember 2009 pukul 13.04 mengatakan...

Wah, jangankan masyarakat Jawa, tetangganya Bali aja bedanya dua langit!

Kalau di Bali, bulan ini, pas tahun baru Islam ini lah.. pada rame-rame nikah, Kang..

-Gek- on 18 Desember 2009 pukul 13.05 mengatakan...

Asyik si, sejarahnya, menambah ilmu kanuragan saya.. *jitak!

Iya, Kang.. lupa kasih tau kalo ada award yeee..?

Kan, Akang selalu mampir.. :)
(mesra amat???) *gampar*

Ninda Rahadi on 18 Desember 2009 pukul 15.19 mengatakan...

nah itu film yang dibintangi suzana : malam 1 suro?

kok imagenya 1suro bisa demikian nakutin ya mas?

ga tau juga awal mulanya gimana tuh...

bintang air on 18 Desember 2009 pukul 17.20 mengatakan...

kalo satu suro kesannya angker ya mas. padahal itu mitos kan. hmm lebih ke pada yang religi aja deh. 1 muharram
selamat tahun baru ya mas

Blogger Admin on 18 Desember 2009 pukul 19.22 mengatakan...

Larung sesaji ya kang?di sarangan (jatim) juga ada...tadi pagi tuh...sayange aq ga nonton.....

secangkir teh dan sekerat roti on 18 Desember 2009 pukul 20.12 mengatakan...

ya, itulah sebuah budaya...

Clara Canceriana on 18 Desember 2009 pukul 20.42 mengatakan...

selamat tahun baru Kang
hihihi...
baru tau kebudayaan 1 suro itu...

ALRIS on 18 Desember 2009 pukul 23.06 mengatakan...

Tulisannya penuh informasi. Salam
ALRIS

an4k`SinGKonG on 19 Desember 2009 pukul 00.18 mengatakan...

ahiyaaaaaaaah.....gitu ye asal muasalnya
xixixiixixi

Saung Web on 19 Desember 2009 pukul 00.47 mengatakan...

Memang kalau di dalami kegitan2 budaya seperti mengandung falsafah yang dalam ya kang..
selamat tahun baru 1431 H .. n sukses selalu ya

Saung Bisnisku on 19 Desember 2009 pukul 00.57 mengatakan...

Postingannya dalam sekali kang .. kayak pakar budaya aja nih.. hehe

Kang Sugeng on 19 Desember 2009 pukul 01.02 mengatakan...

►Newsoul : amin, Selamat Tahun Baru 1Muharram 1431 H. juga Mbak

►Ivan@mobii : koq Ivan tau sih?

►narti : yup semoga ya Mbak

►sda :
betul sekali Mbak narti

►Munir Ardi : hahaha.. itu filmnya Suzana Bang

►sda : amin Mbak

►Ayas Tasli Wiguna : gak papa Mas, saya malah lebih suka sama bule, hahaha...

►ninneta : hehehe... ini juga saya dapet dari membaca koq Net

►yanuar catur rastafara : iya Mas Yan gunung kawi pasti rame bngt hari ini

►aaSlamDunk : hahaha... ngumbah kerinya dewe-dewe Mas

►Yolizz : yup, semoga bisa nambah pengetahuan kamu ya Yol

►jhoni : hahaha... wangsitnya udah dapat berapa piring Kang? Saya pesen ndak pake saos, hehee...

►marsudiyanto : kalo cuman kumpul2 dan lek2an aja kurang Pak

►Joddie : iya Mas, di Solo ritualnya memang kirab pusaka dan kebo kyai slamet.

►ateh75 : iya Teh
Selamat tahun baru hijriyah,1 muharam 1431 juga ya...

►Rosi aja : gitu ya Mbak..

►-Gek-on : kebalikannya Jawa ya Gek...
awardnya yg kemareen kan..? :)

►anindyarahadi : awal mulanya udah saya tulis tuh...

►bintang air : hehehe.. iya Mbak, selamat tahun baru juga

►Aditya's Blogsphere : iya larung sesaji di sarangan pasti rame

►secangkir teh dan sekerat roti : sippp...

►Clara : selamat tahun baru juga ya Non

►ALRIS : Trimakasih, salam kenal juga

►an4k`SinGKonG : hehehee iya Mas

►Saung Web : iya betul sekali Mas, selamat tahun baru juga buat kamu.

Collections Of Internet Link on 19 Desember 2009 pukul 01.04 mengatakan...

Biasanya 1 suro ini juga suka mandiin barang2 pusakan ya kang kaya kakeku dulu ya gitulah.. n kayaknya agak2 sakral gitu hehe

ivan kavalera on 19 Desember 2009 pukul 01.32 mengatakan...

maaf baru mampir mas. aku baru tahu banyak nih tentang 1 suro setelah baca artikel ini.

RanggaGoBloG on 19 Desember 2009 pukul 02.23 mengatakan...

wah terimakasih mas atas infonyah... tapi berhubung saya orang jawa...saya juga sedikit mempunyai kepercayaan di bulan suro... tentunya tanpa sedikitpun mengurangi kepercayaan saya terhadap TYME

Yunisa Hidayanti on 19 Desember 2009 pukul 05.49 mengatakan...

numpang baca :D

Pakde Cholik on 19 Desember 2009 pukul 07.21 mengatakan...

Banyak budaya Nuantara dalam menyambut 1 Suro ya mas. Ini memperkaya hasanah budaya kita. Namun kemasannya harus tetap tidak menyimpang dari ajaran agama agar tak menjurus kearah musryik.
mantap mas reportasenya.
Salam hangat dari Galaxi.

Kabasaran Soultan on 19 Desember 2009 pukul 09.45 mengatakan...

Sharingnya menambah wawasan tentang makna suro bagi etnis jawa.
Mantap

SunDhe on 19 Desember 2009 pukul 09.59 mengatakan...

makasi infonya, dhe jadi lebih tau suro itu apa. maklum sejak di semarang, dhe bingung [dhe kan asli aceh, di aceh ga da satu suro] yang ada prayaan satu muharram, kaya yasinan atau syukuran gt.

Fais Wahid on 19 Desember 2009 pukul 10.41 mengatakan...

seLamat tahun baru isLam 1431H..,
sowry teLat...,

Pelakon Takdir on 19 Desember 2009 pukul 12.50 mengatakan...

salam sejahtera
maaf yach pada dua komen sebelumnya sama percis karena saya ingin tahu komen saya diperhatikan ato tidak.eh..ternyata diperhatikan
terima kasih yach atas kritiknya
mengenai 1 syuro saya setuju bahwa semua hari iut baik untuk menikahkan anak
salam sejahtera

HB Seven on 19 Desember 2009 pukul 13.50 mengatakan...

selamat tahun baru kang...1 Muharram 1431 H...moga ditahun depan segalanya lebih baik daripada tahun yang telah lewat......amiiennn

annie on 19 Desember 2009 pukul 14.17 mengatakan...

Selamat Tahun Baru 1431 Hijriyah, Kang. Semoga segala rencana dapat terlaksana dalam ridlo Allah swt. Amiiin ...

Dulu, saya menganggap Malam Satu Syuro identik dengan klenik, Kang, karena ketidaktahuan saya dan akibat judul film horor. Disini saya jadi tahu makna filosofi masyarakat Jawa. Terima kasih atas infonya, ya, Kang.

Puspita on 19 Desember 2009 pukul 16.47 mengatakan...

Sasi suro waktunya introspeksi. jadi sebaiknya jangan dipakai untuk mengadakan pesta.

Phonank on 19 Desember 2009 pukul 17.55 mengatakan...

Begitu yah....

pantesan kemarin bokap getoL bgt liat tayangan ditivi begitu liat ada perayaan malam satu Syuro di Keraton.

maklum bokap dah lama tinggal di jakarta semenjak 27 tahun lalu.

jadi dengan liat tayangan itu, yah sebagai ajang kangen2an ajah dengan perayaan itu.

xitalho on 20 Desember 2009 pukul 00.00 mengatakan...

Segala upaya telah dilakukan oleh para pemuka agama dan pemuka adat untuk menghormati Tahun Baru Hijriah atau kita kenal Bulan Suro... semoga tidak keluar dari tatanan dan semakin mempertebal keimanan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa...

namaku wendy on 20 Desember 2009 pukul 03.38 mengatakan...

malem satu suro, tapa bisu dtempat tidur mas huehehe alias ngorok dgn suksesnya:p

rusabawean™ on 20 Desember 2009 pukul 07.14 mengatakan...

hmmm
ternyata masih ada ritual2 kek gitu yaa

reni on 20 Desember 2009 pukul 10.15 mengatakan...

Orang-2 Jawa punya banyak tradisi, ritual dan filosofi...
Selamat Tahun Baru Muharram...

the others.... on 20 Desember 2009 pukul 10.16 mengatakan...

Sempat mengikuti perayaan Suro di Ponorogo tidak ya..? Setiap tahun Ponorogo selalu meriah perayaan 1 Suro-nya.

BTW, seneng sekali bisa mampir kesini...

attayaya on 20 Desember 2009 pukul 14.58 mengatakan...

aku pernah begadang mengikut acara 1 syuro di pantai parang tritis dan parang kusumo Jogja

ngantuk....

rony danuarta on 20 Desember 2009 pukul 19.55 mengatakan...

kenapa ya jadi di banjarmasin tidak ada perayaan suro seperti di Tempat mas...

vie_three on 21 Desember 2009 pukul 11.45 mengatakan...

aq 3 hari kemaren pergi ke desa untuk memperingati 1 suro di desa ibuku di kediri kang.... rameeee banget, nonton wayang, liat orang bawa tumpeng.... apa itu namanya arak-arakan.... hehehehe ^^

Ikutan Ngeblog on 21 Desember 2009 pukul 13.10 mengatakan...

tanggal satu suro menonton kebu putih di solo? hehe.. di kasunan.. hehe..
pasti seru..
itu memang sudah adat atau kepercayaan bagi orang jawa..
tapi kalo saya memperingatinya yang tahun baru hijriah, atau tahun baru islam.

Rumah Ide dan Cerita on 21 Desember 2009 pukul 15.36 mengatakan...

Banyak hal atau pelajaran ternyata terkandung di dalamnya.

Ivan Rahmadiawan on 22 Desember 2009 pukul 02.04 mengatakan...

Kang dah hari selasa! Kok blm update? #lemparpulsadollar

Ajeng on 22 Desember 2009 pukul 09.13 mengatakan...

Di Kediri masih kental yang kayak gini mas, apalagi dipetilasannya Sri Aji Joyo Boyo. Tapi yg membuat tidak nyaman sekarang sudah banyak yg menyimpang ke arah syirik..

insanitis37 on 28 Desember 2009 pukul 11.17 mengatakan...

kembali pada tradisi adalah jawaban atas problematika saat ini yg begitu kompleks, rumit..mit..mit...
good post sob..

Unknown on 30 Desember 2009 pukul 10.29 mengatakan...

o gitutoh sejarahnya. kyk judul film Suzanna ya.malam 1 suro.

zaffiro watch on 10 Januari 2010 pukul 00.53 mengatakan...

kang sugeng, ada buku khusus yang bisa di jadiin referensi tentang bahasan sejarah lahirnya budaya satu suro di masyarakat jawa ga ya? kalau ada, kira-kira nama bukunya apa? TQ..

Travel Jakarta Bandung on 6 Agustus 2010 pukul 00.52 mengatakan...

duh sayang sekali makanannya dibuang ke laut

Posting Komentar

[ Full Page Comment Form ]

Maaf... karena banyak SPAMMER, terpaksa saya mengaktifkan MODERASI.
Ini adalah DOFOLLOW BLOG, setiap komen yg kamu tinggalkan, akan menjadi BACKLINK buat URL yg kamu sertakan, so... tinggalkan komen yg sesuai dengan TEMA, jangan NYEPAM..!!
Gunakan Name/URL biar lebih efektif. Jangan lupa pake http:// biar ndak BROKEN LINK.
Komentar APAPUN asal sopan dan punya aturan, PASTI saya terbitkan, KECUALI yg menyertakan LINK, akan langsung saya DELETE..!!

Back to TOP

 

Be A Great Person Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template